Menemukan Hakikat Diri di Bulan Suci

Menemukan Hakikat Diri di Bulan Suci

Pernahkah kita merenung akan jati diri kita? Dalam sebuah perenungan sederhana, kadang bertanya dalam hati, siapa sebenarnya diri kita? Di luar bawah sadar sering berkata, saya adalah orang terhormat, saya adalah pimpinan perusahaan, bos di kantor, politisi senior, saya ini dan itu. Tapi pernahkah bertanya dalam batin tentang kebesaran Allah Swt.?

Jika pertanyaan itu diajukan dalam ranah spiritual, maka dapat dipastikan tidak ada yang mampu mendefinisikannya dengan sempurna. Karena tidak ada yang bisa mengukur tingkat ketaqwaan seseorang dan tidak ada pula yang mampu memastikan kualitas dari iman seseorang. Ketaqwaan dan keimanan seseorang adalah unsur spiritual yang tidak akan pernah bisa diketahui dan diukur dengan instrumen fisik atau matematis. Lain halnya dengan definsi fisik pada diri seseorang akan sangat mudah, seperti berapa tinggi dan berat badannya, berapa kekayaannya, apa jabatannya, dan lain-lain.

Untuk mendefinisikan tentang diri, hal yang bisa kita lakukan adalah bagaimana kita menemukan hakikat kedirian itu sendiri. Poin penting yang mesti dipahami adalah pemahaman akan diri sendiri akan menjadi pintu utama untuk menemukan siapa Tuhannya.

Imam Al-Ghazali menggambarkan manusia terdiri dari tiga sifat. Pertama, sifat bahimiyah (kebinatangan). Binatang memiliki tugas hidup, makan, minum, tidur, berhubungan seks dengan lawan jenisnya, bertengkar dengan sesamanya, dan lain-lain. Tugas-tugas hidupnya terkait dengan unsur jasmaniah, fisikal, yang dibantu oleh daya insting-nya. Jika keseharian kita hanya mampu melakukan seperti sifat yang dimiliki oleh binatang, maka hidup ini tidak ada bedanya seperti seekor binatang. Tidak memiliki makna apapun kecuali hanya kesenangan material.

Kedua, sifat syaithaniyah (setan). Setan memiliki pekerjaan sehari-hari dengan menipu, dusta, fitnah, mengadu domba, hasad, dan lain-lain. Jika dibandingkan dengan kebiasaan binatang yang bersifat fisik, setan bermain pada wilayah perilaku abstrak atau nonfisik. Pertanyaan kemudian muncul, apakah kita selama ini telah melakukan atau bahkan membiasakan diri seperti perilaku-perilaku itu?, jika iya, maka kita bisa disebut sebagai orang yang berperilaku seperti setan.

Ketiga, sifat malakutiyah (malaikat). Malaikat adalah makhluk Allah Swt. yang paling taat. Mereka tidak dikaruniai nafsu. Maka tugas utama mereka adalah menjalankan apa yang Allah perintahkan, dan menjauhi apa yang Allah larang. Malaikat adalah makhluk spiritual, makhluk yang terbuat dari unsur-unsur kebaikan. Dimana Allah Swt. tidak mengkarunia nikmat-nikmat dunia sehingga malakikat akan terus terjaga dalam kebaikan. Maka ketika manusia mampu bersikap dan berperilaku seperti layaknya malaikat, maka akan terpancar dalam hidupnya sebagai orang yang memiliki cahaya kebaikan dan spiritual yang tinggi. Yang bahkan derajat manusia akan lebih tinggi dari malaikat sekalipun.

Ilustrasi menemukan hakikat diri

Setelah kita memahami gambaran diri tersebut, maka Qurbanasyik mengajak untuk merenungi hakikat diri kita sendiri dan definisikan jati diri sendiri. sifat mana yang mendominasi dalam diri kita. Apakah sifat bahimiyah? Apakah sifat syaithaniyah? Apakah sifat malakutiyah?

Dalam pandangan psikolog muslim seperti Ibnu Sina, Ibnu Miskawaih, bahwa di dalam diri manusia terdapat daya-daya jiwa. Setiap hari daya-daya jiwa itu terus berdinamika untuk saling menguasai. Kekuatan akal, hati, dan nafsu akan saling mempengaruhi, sehingga tergambar dalam sikap dan perilaku, termasuk membentuk dalam level keyakinan.

Oleh karena itu, sebagai makhluk Allah Swt. yang dikarunia tiga kekuatan daya jiwa, yaitu akal, hati, dan nafsu mari kita jadikan sebagai modal penting untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Jika kita mampu memahami hakikat diri kita, kita mampu mengendalikan kehendak nafsu yang cenderung pada unsur-unsur material (kejahatan atau kemaksiatan), maka kita akan menjadi diri yang bersih, suci, dan bisa teraktualisasi dalam sikap dan perilaku terpuji. Cara yang paling tepat untuk menemukan diri dan Allah Swt. adalah ketika kita bisa merenungi daya jiwa diri kita dalam keheningan, apalagi di bulan Ramadhan yang benuh berkah ini. (Sunandar)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *